I. Pengukuran Kebisingan
Undang-undang Lingkungan hidup RI No. 23 Tahun 1997 mendefinisikan
bahwa yang dimaksud dengan pencemaran adalah masuknya zat-zat pencemar ke dalam
lingkungan, sehingga kualitas lingkungan menjadi turun. Polutan yang dimaksud
di atas bukan hanya zat-zat material saja, tapi juga bisa bersifat non-materi,
seperti energi. Salah satu polutan dalam bentuk energi itu adalah energi suara yang menghasilkan
kebisingan di lingkungan.
Berbagai jenis sumber kebisingan terdapat di lingkungan, dimana tiap
jenisnya memerlukan metoda pengukuran yang berbeda pula. Tulisan ini mencoba
menjelaskan bentuk-bentuk kebisingan yang ada di lingkungan, beserta metoda
pengukuran dan penilaiannya.
1.Pengertian Kebisingan
Suara adalah energi mekanis dari suatu getaran yang menjalar secara
siklus seri dari pemampatan dan peregangan molekul yang dilewatinya. Suara
dapat diteruskan oleh gas, zat cair dan benda padat. Jumlah pemampatan dan
peregangan molekul dari medium yang dilewatinya tiap detik disebut frekuensi
suara yang diukur dalam satuan Hertz (Hz). Manusia hanya dapat mendengar suara
yang frekuensinya berada antara 16 sampai 20.000 Hz (Suratmo,1988:98).Frekuensi
suara diterima oleh pendengar menggambarkan pola-pola suara. Bagi manusia,
ternyata frekuensi tinggi lebih mengganggu daripada frekuensi rendah (De,
1994:345).
Jika getaran sumber bunyi terjadi di udara, maka pemampatan dan
peregangan molekul-molekul udara akan memberikan tekanan kepada selaput gendang
telinga, sehingga manusia mendengar bunyi tersebut. Dengan demikian parameter
kedua adalah tekanan bunyi, yang diukur dalam Newton per meter bujur sangkar (NM~2).
Parameter lainnya adalah intensitas bunyi yang dirumuskan dengan Watt per meter
bujur sangkar (WM'2). Namun kadang-kadang bunyi juga dinyatakan dalam kekuatan
bunyi (loudness), yang merupakan ukuran yang bersifat subjektif perseorangan,
karenanya tidak dapat diukur dengan satu alat ukur yang pasti (De, 1994:346).
Dalam hubungan dengan kebisingan lingkungan, parameter yang paling
penting adalah tekanan suara. Namun tekanan suara ini tidak praktis dapat
dipakai sebagai satuan dari gangguan kebisingan (Suratmo, 1988:98) karena:
a. Kekuatan suara mempunyai
kisaran yang sangat besar, yaitu mulai dari 0,0002 µPa yaitu ambang pendengaran
sampai 100 Pa. yaitu ambang batas rasa sakit.
b. Telinga manusia tidak memberi respon yang linear terhadap
kenaikan tekanan suara tersebut.
Oleh sebab itu sebagai ukuran untuk kebisingan dilakukan
perbandingan logaritma antara tekanan suara sesungguhnya dengan tekanan
referensi. Hasil perbandingan ini disebut sebagai decibel (dB). Sebagai tekanan
referensi adalah tekanan pada ambang batas pendengaran manusia yaitu 0,0002
µPa.
Dengan demikian
tingkat tekanan suara (sound pressure level = SPL) dirumuskan sebagai berikut:
SPL= 201og 10 (P/Po)
Keterangan: SPL = Sound pressure level
P = Tekanan suara Pa
Po = Tekanan
referensi (0,0002µPa)
Mengingat tingkat kebisingan yang umumnya terjadi pada frekuensi
tengah, yaitu frekuensi yang mendekati frekuensi percakapan sehari-hari (1000
Hz), juga telinga manusia tidak memberikan reaksi pada frekuensi rendah dan
tinggi, maka perlu dilakukan pembobotan untuk frekuensi rendah dan tinggi
terhadap frekuensi tengah. Hasil pembobotan tingkat tekanan suara ini pada
tingkat kebisingan yang umum terjadi, disebut A-Weighted dalam satuan dBA.
Hasil inilah yang disebut dengan tingkat kebisingan dan diukur dengan Sound
Level Meter. Pengaruh frekuensi terhadap kebisingan dapat dilihat pada grafik
berikut:

Dari grafik di
atas terlihat telingan manusia hanya sensitive terhadap kebisingan dengan
frekuensi menengah sekitar 1 KHz , dan
kurang sensitive pada frekuensi tinggi dan frekuensi sangat rendah.
2.Kebisingan Lingkungan
Tingkat kebisingan di suatu tempat yang ditimbulkan oleh suatu
sumber kebisingan dapat diduga berdasarkan bentuk dari sumber, besarnya
kebisingan dari sumber dan jarak dari sumber (Suratmo, 1998:100). Bentuk sumber
kebisingan dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu sumber kebisingan yang
berbentuk sebagai suatu titik dan sumber kebisingan yang berbentuk sebagai
suatu garis.
Kebisingan yang keluar dari suatu sumber berbentuk titik akan
menyebar melalui udara dengan kecepatan 330 m/detik dengan penyebaran yang
berbentuk bola atau lingkaran. Intensitas kebisingan yang diterima dari
tempat-tempat tertentu akan berbeda berdasarRan jarak dari sumber, karena
penyebaran kebisingan akan berkurang apabila tersebar ke daerah yang makin
luas. Gejala tersebut disebut pula sebagai geometric attenuation of sound yang
mengikuti rumus sebagai berikut:
Tingkat suara 1 -
tingkat suara 2 = SPL = 201og 10 (R/Ro)
Tingkat suara di tempat nomor 1 dikurangi suara di tempat nomor 2
sama dengan 20 kali log dari hasil bagi diameternya. Hal ini berarti pula bahwa
setiap jarak menjadi dua kali, tingkat suara akan berkurang 6 dBA (Rossing,
1981:79). Rumus ini juga disebut sebagai inverse square law. Rumus ini berlaku
misalnya untuk suara dari pembangkit tenaga listrik yang tak bergerak di tempat
yang terbuka.
Untuk sumber suara yang berbentuk sebagai garis, misalnya kebisingan
yang timbul karena kebisingan-kebisingan yang bergerak dijalan, maka bentuk
penyebaran suaranya berbentuk silinder memanjang. Dugaan dampak kebisingannya
mengikuti rumus sebagai berikut:
Tingkat suara 1 -
tingkat suara 2 = l0 log (R2/R1)
Hasil perhitungan
rumus menghasilkan tingkat kebisingan akan berkurang 3 dBA apabila jaraknya
menjadi dua kali (MPCA, 2000:12).
Jika pada suatu daerah terdapat
beberapa sumber bunyi, maka tingkat kebisingannya menurut Yunasril (1997:8)
dihitung dengan menggunakan cara-cara berikut:
Ptot
= Pl
+ P2
+ .....+ Pn
Dimana ;
Ptot = tekanan
total dari beberpa sumber
Pl = tekanan oleh
sumber pertama
P2 = tekanan oleh
sumber kedua
Pn = tekanan oleh
sumber ke n
Berdasarkan Ptot ini maka untuk tingkat tekanan bunyi (SPL) dari
berbagai sumber dapat ditentukan sebagai berikut:
SPL = 10 log (10
+ 10
+ ...... + 10
)
Sebagai contoh sederhana, ada tiga buah sumber suara
yang masing-masingnya 90 dBA, 80 dBA dan 70 dBA, maka resultante tingkat
kebisingan adalah:
L =
10 log (10
+ 10
+ 10
)
= 10 log (10
+ 10
+ 10
)
=
10 log (111. 10
)
=
90,45 dBA
Untuk sumber
bunyi banyak, dapat juga dilakukan dengan penjumlahan dimulai dari yang nilainya paling rendah sampai tertinggi secara
berurutan. Contohnya, jika masing-masing sumber bunyi adalah 70 dBA, 79 dBA, 80
dBA, 82 dBA, 85 dBA, 96 dBA, 96 dBA dan 100 dBA, maka resultante kebisingan
adalah :
70
79,5
79 82,8
80 85,4
82 88,2
85 96,7
96 100,2
98 103,2
100
Bising terkecil adalah 70 dBA ditambah dengan kedua terkecil 79 dBA
menghasilkan 79,5 dBA. Angka terakhir ini ditambahkan dengan ke tiga terkecil
80 dBA menghasilkan 82,8 dBA dan seterusnya sehingga diperoleh hasil akhir
103,2 dBA.
Tapi jika hanya ada dua sumber perhitungan lebih mudah dengan
menggunakan tabel seperti dibawah ini.
1). Ukur tingkat
kebisingan tiap-tiap sumber (Ll, L2).
2). Kurangkan tingkat
kebisingan tertinggi dengan terendah (L2 - Ll).
3).Tentukan perbedaan tersebut pada sumbu horizontal dan nilainya
(L) pada sumbu vertikal pada kurva berikut.
4). Tambahkan nilai ini ke
nilai tingkat kebisingan terbesar (L2 + L).

Dari kurva di
atas terlihat bahwa total tingkat kebisingan yang disebabkan oleh
dua sumber Ll = 51 dB dan L2 = 55 dB adalah 56.4 dB. Nilai-nilai perbedaan (L)
antara tingkat kebisingan ini jika di
buat dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Koefisien Nilai L
pada penjumlah Kebisingan
Perbedaan dBA Nilai
L (dBA)
0
3.0
1
2.6
2
2.1
3
1.8
4
1.5
5
1.2
6
1.0
7
0.8
8
0.6
9
0.5
10
0.4
11
0.3
12
0.2
13
0.1
3.Pengurangan kebisingan
Pada pengukuran kebisingan, kadang-kadang perlu diketahui
tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh sumber saja, tanpa pengaruh dari
kebisingan latar belakang (backgraund noise). Untuk mengetahuinya dilakukan
dengan cara mengurangkan background noise dari total kebisingan dengan
menggunakan persamaan berikut:
L = 10 log (10
- 10
)
Jika L yang diperoleh lebih kecil dari 3 dB, maka
background berarti terlalu besar pengaruhnya terhadap ketepatan pengukuran,
sebaliknya jika perbedaan yang diperoleh
lebih besar dari 10 dB, maka background boleh diabaikan. Contoh pengurangan
kebisingan sebagai berikut:

4.Mengukur Kebisingan
Kebisingan lingkungan yang terjadi adalah sangat
berfluktuasi tergantung kepada jenis sumbernya dapat berupa kebisingan sesaat
seperti dekat pelabuhan udara atau kontiniu dekat jalan raya. Guna mengukur
beberapa macam kebisingan ini dilakukan dengan metoda-metoda tersendiri.
1. Kebisingan sesaat
Untuk daerah yang sumbernya berasal dari sumber-sumber
tunggal (single event) yang berdurasi pendek, menurut Cavanough (1998) ada
beberapa parameter yang perlu diperhatikan yaitu:
- Level Maksimum (Lm)
Level maksimum
adalah puncak kebisingan yang terjadi pada suatu titik sample pada suatu
daerah.
- Percentile Sound Level (Lx)
Level percentile
adalah tingkat kebisingan sejumlah X persen dari rentang waktu pengukuran.
Untuk melihat besarnya gangguan sumber tarhadap lingkungan ada dua level yang
perlu diukur yaitu L10 dan L90. L10 adalah tingkat kebisingan yang dicapai
sebanyak 10% dari sample selama rentang
waktu pengukuran. Sedangkan L90 adalah tingkat kebisingan yang dicapai
sebanyak 90% sample pada rentang pengukuran. L10 menggambarkan tingkat gangguan
yang khas untuk masing-masing sumber
(Typically intrusive). Sementara itu L90 adalah mengindikasikan tingkat
kebisingan latar belakang (background noise). Perbedaan antara L10 dan L90 adalah
indikasi daroi pwerubahan tingkat kebisingan (noise variability) pada suatu
tempat. Semakin besar perbedaan antara L10 dan L90 berarti semakin basar
gangguan sumber terhadap lingkungan.
Untuk melakukan
pengukuran tingkat kebisingan di kawasan pelabuhan udara dan jalur
penerbangannya, berdasarkan kepada
prosedur manual
pengukuran Non - Impulsive Noise
yang
direkomendasikan MPCA
(2000: 4) sebagai berikut:
a. Mengkalibrasi alat sebelum pengukuran
b. Menyediakan format pengukuran
Pengukuran
tingkat kebisingan berdasarkan kepada metoda pengukuran kebisingan yang
dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Surat
Keputusan No.48/1996 Lampiran I (Bapedal, 1997:7) yang menyatakan pengukuran
dilakukan selama 10 (sepuluh) menit dengan pembacaan setiap 5 (lima) detik.
c. Pengukuran tidak dilakukan
dalam keadaan melawan angin dan saat hujan, karena akan mempengaruhi tingkat
kebisingan latar belakang
d. Temperatur, kelembaban dan
tekanan udara
e. Pengukuran dilakukan
paling kurang tiga
kaki (0,91 m)
dari permukaan tanah dan jauh dari dinding penghambat, baik alami maupun
buatan.
f. Kebisingan iatar belakang (background noise)
paling kurang 10 dBA
lebih rendah dari
sumber.
g. Pengukuran dilakukan secara serentak dengan
beberapa buah Sound Level Meter.
Hasil pengukuran
yang telah dicatat pada format pengukuran selanjutnya dianalisa untuk
menentukan tingkat kebisingan maksimum (Lm), tingkat kebisingan persentil (L10)
dan tingkat kebisingan latar belakang (background noise = L90) untuk
masing-masing titik sampel. Tingkat kebisingan maksimum (Lm) dapat langsung
dilihat pada format pengukuran, yaitu titik paling atas pada masing-masing
lembar format. Untuk tingkat kebisingan persentil (L10) dan tingkat kebisingan
latar belakang (L90) terlebih dahulu dilakukan tabulasi data dan dihitung
frekuensi kumulatifnya. Menurut Cavanough (1998:5) dan Rosssing (1981:559)
bahwa L10 adalah tingkat kebisingan yang dicapai sebanyak 10 % dari rentang
waktu pengukuran dan L90 adalah tingkat kebisingan yang dicapai sebanyak 90 % dari
rentang waktu pengukuran.
5. Kebisingan Kontiniu
Tingkat
kebisingan kontiniu (Equivalent continous noise level =Leq) menurut panduan
yang diterbitkan Departemen Kesehatan
RI (Depkes,1993:27) di hitung
dengan persamaan berikut:
Leq = 10 log [1/N Σ ni 10
] dBA
Dimana ;
N = jumlah SPL
yang terukur
Li = SPL yang ke
i
Sebagai contoh hasil
pengukuran kebisingan lalulintas yang diukur pada suatu titik dari jam 10.05 -
11.10 dalam interval waktu 5 detik, yang hasilnya dimasukkan ke dalam
tabel adalah sebagai berikut.
L4 = 77.5 dBA n4 = 8
L3 = 72.5 dBA n3 = 20
L2 = 67.5 dBA n2 = 21
L1 = 62.5 dBA n1 = 8
L0 = 52.5 dBA n0 = 3
Leq = 10 log ( 1/60 Σ ni
)
=
77.74 dBA
Untuk pengukuran
tingkat kebisingan siang malam menurut Wilson
(1989:28) maka pengukuran dilakukan tiap 10 menit. Langkah yang dilakukan
adalah;
1). Mengukur tingkat
kebisingan tiap jam (Lij) sebagai berikut;
Lij = 10 log 1/6 Σ 10
Dimana Lij = Leq pada pada
interval antara jam i dan j
Lk = Tingkat kebisingan yang
ke k
2). Setelah menghitung semua nilai Lij, selanjutnya dihitung tingkat
kebisingan siang hari saja, antara jam 07.00 - 22.00 WIB dengan persamaan
berikut;
LeqS = 10 log
1/15 Σ 10 
3). Kemudian dihitung tingkat kebisingan malam hari saja, antara jam
22.00 - 07.00 WIB dengan penambahan nilai 10 untuk tiap nilai Le guna koreksi
terhadap penurunan background noise di malam hari.
LeqM = 10 log 1/9 Σ 10
4). Menghitung tingkat
kebisingan Siang-Malam dengan persamaan:
LeqSM = 10 log [
1/24 { 15 x 10
+ 9 x 10
]
5). Masing-masing tingkat kebisingan ini di bandingkan dengan ambang
batas yang diizinkan untuk masing-masing zona atau peruntukkan lingkungan.
6). Guna mengetahui keterkaitan antara jumlah kendaraan bermotor
untuk masing-masing jenis dengan tingkat kebisingan digunakan regresi linier
(Sahlubis, 1998:27) sebagai berikut:
Yi = b
+ b
+ b
+ b
+ e
Keterangan:
Yi = Tingkat
kebisingan pengamatan ke-i
Bo = Intersep
b1 ,b2 ,b3
= Koefisien masing-masing jenis
kendaraan
X1i ,X2i ,X3i
= Jumlah dan kategori kendaraan
ke-i
e =
faktor galat pengamatan
2.Dampak Kebisingan
Sumber
kebisingan dapat pula dikelompokan menjadi kebisingan interior yang berasal
dari manusia, alat-alat rumah tangga dan mesin-mesin gedung, serta kebisingan
ekstrior yang berasal dari lalulintas, transportasi dan industri.
Dari
faktor volume, jelas bahwa suara yang makin keras akan dirasakan makin
mengganggu. Tetapi persepsi tentang kebisingan tidak selalu identik dengan
tinggi rendahnya tingkat tekanan suara. Kalau suara bising itu dapat
diperkirakan datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang
ditimbulkannya akan lebih kecil daripada jika suara itu datang tiba-tiba atau
tidak teratur. Suara AC atau kipas angin, misalnya, jika berbunyi terus-menerus
tidak dirasakan sebagai bising. Bahkan mesin kapal bagi seorang masinis kapal
sudah dianggap tidak bising lagi karena keteraturannya. Akan tetapi, jika
suara-suara itu tiba-tiba berhenti dan tiba-tiba berbunyi lagi secara tak
beraturan, akan timbul kesan bising. Demikian pula jika sebuah suara keras
(misalnya ledakan atau jeritan anak-anak) terdengar tanpa diperkirakan
sebelumnya, akan timbul kesan bising.
Lain halnya jika suara itu bisa kita
kendalikan sendiri. Faktor pengendalian erat hubungannya dengan faktor
perkiraan. Jika kita membunyikan kaset musik rock atau memasang gergaji mesin,
kita sendiri tidak merasa bising karena kita bisa mengatur sekehendak hati kita
kapan benda-benda itu akan dibunyikan dan kapan akan dihentikan. Namun, buat
tetangga kita yang tidak bisa langsung mengendalikan suara-suara itu, bunyi itu
akan dianggap sebagai bising.
Tidak
adanya kendali pada kebisingan ini menimbulkan stress yang jika berlangsung
lama pada akhirnya bisa menimbulkan reaksi learned helplessness
(ketidakberdayaan yang dipelajari). Artinya, orang menjadi tidak berdaya dan
membiarkan saja bising itu walaupun stressnya bertambah besar.
Tentunya dengan memperhatikan ketiga
faktor itu, ada berbagai macam kombinasi kebisingan. Ada suara keras tetapi
bisa diperkirakan dan bisa dikontrol, ada suara tidak keras tetapi tiba-tiba
dan tidak bisa dikontrol, dan sebagainya. Akan tetapi, yang paling menggangu
adalah yang keras tiba-tiba atau tak teratur dan tak terkontrol.
Dampak dari kebisingan pertama kali
tentunya akan menggangu alat pendengaran. Gangguan ini bisa bersifat sementara
maupun permanen. Akibat kebisingan terhadap kesehatan fisik secara umum dapat
meningkatkan tekanan darah, gangguan pencernaan, dan sebagainya, sedangkan
terhadap kesehatan mental dapat menimbulkan sakit kepala, rasa mual, bahkan
impotensia seksual (Cohen, 1977 dan Miller, 1974 dalam Fisher at el, 1984 :
115).
Dampak
lain dari kebisingan adalah terhadap prestasi kerja. Berdasarkan hukum Yerkes
dan Dodson dapat dijelaskan bahwa peningkatan kebisingan pada jenis tugas yang
sederhana bisa meningkatkan prestasi kerja, tetapi makin majemuk sifat tugas
itu, makin besar kecenderungannya bahwa prestasi kerja justru akan menurun.
Hasil penelitian ternyata mendukung teori ini (Glass & Singer, 1972 dalam
Fisher et al, 1984 : 107).
Dalam
hal tingkah laku sosial, Matthews, Cannon, dan Alexander (1974) menemukan bahwa
dilingkungan yang bising, jarak personal space lebih lebar daripada ditempat
yang tidak bising. Apple dan Lintell (1972) mendapatkan dari penelitianannya
bahwa hubungan informal antar tetangga makin berkurang jika suara bising lalu
lintas di sekitar tempat pemukiman meningkat, selain itu kebisingan dapat
meningkatkan agresivitas manusia.
Bermacam
cara dapat dilakukan untuk mengeliminasi atau mereduksi kebisingan dengan
efektif baik di dalam maupun di luar rumah. Doelle (1993) menjelaskan beberapa
usaha yang dapat dilakukan yaitu;
a.Penekanan
bising di sumbernya.
Tindakan
pengendalian bising yang paling ekonomis adalah menekan bising tepat di
sumbernya dengan memilih mesin-mesin dan peralatan yang relatif tenang dan
dengan menggunakan metode kerja yang tingkat kebisingannya paling rendah. Dapat
pula dilakukan penyungkupan dengan bahan-bahan penyerap bunyi terhadap
mesin-mesin yang bising
b.Perencanaan kota
Karena
pertumbuhan transportasi darat dan udara yang cepat, bising telah menjadi suatu
factor lingkungan yang sangat penting di kota-kota dan bukan mustahil nantinya di
pedesaan.Untuk itu, dalam rangka perencanaan kota dilakukan antara lain;
1).
Dengan mengikuti cara-cara perencanaan kota dan penataan masyarakat dengan
suatu pemikiran pengurangan kebisingan dalam derajat yang diinginkan.
2).
Dengan membentuk peraturan penetapan daerah (zoning) yang membatasi tingkat
bising maksimum, terutama pada pemukiman penduduk.
3).
Membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pengaruh dan pengendalian
kebisingan.
4).
Menggunakan jalur hijau sebagai penyerap bunyi dan penghalang lainnya.
a.
Perencanaan tempat
Jika
sumber kebisingan telah ada, maka adalah sukar untuk menghi-langkannya. Karena
itu penting untuk gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang
seperti sekolah, rumah sakit, ditempatkan pada daerah yang tenang, jauh dari
jalan raya, industri dan pelabuhan udara.
b.
Menggunakan bahan penyerap.
Kebisingan
dalam ruangan yang disebabkan oleh bunyi langsung dan bunyi pantul. Untuk
mereduksi bunyi pantul dilakukan penyerapan. Tingkat reduksi oleh bahan
penyerap adalah ;
Reduksi
tingkat bising (dB) = 10 log A1/A2
Dimana
A1 dan A2 adalah nilai total penyerapan bunyi dalam ruangan meter persegi
masing-masing sebelum dan sesudah diberi lapisan penyerap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar